Kasih yang Begitu Menakjubkan

Sebagai seseorang yang bertobat melalui pemberitaan Injil di persekutuan mahasiswa Kristen, satu ayat yang selalu saya ingat adalah Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ayat inilah yang terus-menerus melintas di pikiran saya ketika saya mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juruselamat dunia. Ini adalah hal yang ‘aneh’ bagi saya pada waktu itu karena sebelumnya, saya tidak pernah mempedulikan apa itu kehendak Allah, apalagi membedakan mana yang merupakan kehendak Allah dan mana yang bukan. Sebelum saya percaya kepada Kristus, saya menjalani hidup dengan sesuka hati. Saya kebanyakan melakukan hal-hal yang baik namun demi pujian dan pengakuan orang lain.

Ini adalah pengantar penting ketika saya diminta untuk menulis bagaimana ‘perjalanan saya menjadi staf’ di Perkantas Jakarta, karena semuanya jelas dimulai dari kasih karunia; betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus yang Ia curahkan lewat karya salib dan Roh Kudus yang mempertobatkan saya. Perjalanan saya menjadi seorang staf mahasiswa dimulai dari kesadaran penuh dan keyakinan mendalam bahwa di dalam hidup ini, kehendak Allah-lah yang sepatutnya menjadi kehendak saya, sesukar dan se-tidak-menyenangkan apa pun itu menurut pertimbangan saya. Perjalanan ini pun dilanjutkan dengan bagaimana Allah menaruh di dalam hati saya belas kasih ketika melihat mahasiswa-mahasiswi di kampus saya. Saya yakin bahwa mereka perlu mendengar pemberitaan tentang siapa Kristus, apa yang Ia telah, dapat dan akan lakukan di dalam hidup mereka, serta apa yang seharusnya menjadi respons kita.

Usai lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada pertengahan 2015, saya bekerja di salah satu lawfirm di Jakarta. Sebelumnya saya memang sudah pernah menolak untuk menjadi staf karena saya merasa “saya ingin berkarya di dunia hukum”—dan sepertinya saya lupa, menjadi staf juga bisa ‘berkarya’ (bagi mahasiswa) di dunia hukum. Itulah pertimbangan prematur ketika saya memutuskan bekerja di lawfirm tersebut; terkesan mulia dan baik, padahal sebenarnya tidak. Kalau ditanya lebih jauh lagi, saya tidak sesungguh-sungguh itu ingin mengabdi menjadi seorang pengacara. Motivasi lain saya pada waktu itu terbatas pada “saya ingin belajar di sana.” Pada saat yang bersamaan, hati saya tidak pernah berhenti merasakan kasih bagi adik-adik saya di PO FH UI. Saya membayangkan bagaimana bila tidak ada pemberitaan Injil di sana, tidak ada yang dimuridkan dengan sungguh-sungguh, dan bagi saya itu sangat menyedihkan. Saya rindu apa yang saya alami—hidup yang ditebus oleh Kristus, pengenalan akan Allah, dan perjuangan iman hari demi hari untuk mengikut Kristus—dapat dialami oleh adik-adik saya di kampus. Hal ini membuat saya menyerahkan diri secara sukarela untuk memimpin kelompok tumbuh bersama bagi pengurus-pengurus yang ada dan hadir untuk mendengarkan mereka, memberi nasihat, penguatan, dan penghiburan, bersama dengan rekan-rekan saya yang lain, yang juga masih memerhatikan persekutuan ini.

Saya kembali mendoakan panggilan sebagai staf mahasiswa pada Agustus 2017. Sebelumnya, yakni pada bulan Februari, pada Retret Koordinator ke-16, saya menjawab altar-call pada salah satu sesinya. “Jangan datang kalau Allah tidak memanggil, jangan pergi kalau Allah memanggil”, kira-kira itu yang saya dengar pada waktu itu. Saya menangis karena saya membayangkan banyak hal yang harus saya tinggalkan—kenyamanan dan konsekuensi dari keputusan ini—pertanyaan demi pertanyaan. Saya yakin orang tua saya akan menjadi pihak terdepan yang akan mengajukan pertanyaan mengapa saya mengambil keputusan ini, di kala karir saya sedang menuju kestabilannya pada waktu itu. Tidak hanya pada retret ini, ketika saya mengikuti EARC (East Asia Regional Conference) 2017 pun saya semakin melihat pentingnya menjadi pekerja bagi mahasiswa/i di bangsa ini, sekalipun saat itu saya kembali meragukan untuk menjawab panggilan menjadi staf. Puncak runtuhnya pertahanan diri saya untuk menolak panggilan Allah ini terjadi ketika saya mengikuti Kamp Pengutusan Mahasiswa 2017. Saya bukanlah peserta, melainkan salah satu pelayan yang melayani di kamp tersebut. Pada sesi pemberitaan firman dari Yesaya 52:13—53:12 yang dibawakan oleh Pdt. Erick Sudharma, saya menjawab di dalam hati saya, “Ya Allah, aku mau menyerahkan diri sebagai alat-Mu, sebab penyerahan diriku adalah respons yang tepat yang sebenarnya tidak pernah sebanding dengan penyerahan diri Yesus Kristus di kayu salib, bagiku dan bagi dunia ini.”

BAGIKAN: