Pembaruan Kristen untuk Indonesia Baru

“Demikian  juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru  ke dalam  kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur  itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi, anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula” (Markus 2:22).

Tak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara yang seringkali berada dalam keadaan terpuruk. Gejolak demi gejolak di pelbagai bidang terus-menerus terjadi. Di tengah kedua problema besar itu, bencana pun datang silih-berganti, seakan ingin mempercepat kehancuran negeri ini. Wajar saja jika kita pesimis menatap masa depan Indonesia. Namun, dengan mengimani bahwa Tuhan senantiasa mendengar doa-doa syafaat kita selaku orang percaya, tak berlebihan rasanya jika kita tetap optimis menatap masa depan negara dan bangsa yang dikasihi-Nya ini. Jadi, alih-alih terpaku pada aneka problema di depan mata, lebih arif lah memandang secercah harapan di balik kelabunya awan yang berarak-arakan di atas negeri ini.

Benar, negara dan bangsa ini memang seribu-satu masalahnya. Tapi ingatlah juga, pintu-pintu perubahan menuju kemajuan itu sudah terbuka satu persatu. Memang, ada banyak kelompok lain yang saling berlomba melintasi pintu-pintu perubahan itu, demi mewujudkan setumpuk agenda yang mereka rancang untuk kepentingan grup-sentris mereka sendiri. Tak heran jika di mana-mana kini kita terkepung dengan pelbagai peraturan dan perundang-undangan yang bernuansa aneh-sekaligus-usang. Tak heran pula jika secara legal-administratif daerah-daerah di negara ini berkembang kian banyak, padahal secara teritorial justru kian menyusut. Memang, yang sesungguhnya terjadi hanyalah perlombaan mengejar harta dan tahta belaka. Dengan dalih pemekaran, padahal yang berlangsung adalah penggerusan. Akibatnya, negeri ini pun mengalami involusi – sebuah proses perkembangan ke dalam yang dipaksakan, sehingga kian lama kian menyesakkan. Di satu sisi ada yang mengeksploitasi, di sisi lain ada yang teralienasi. Yang kuat tinggal menunggu waktu menikmati kemenangan, tapi yang lemah tak rela termarjinalisasi begitu saja. Maka, resistensi pun merebak di mana-mana.

Namun, mungkin mimpi-buruk itu tak akan menjadi kenyataan, jika orang Kristen turut berpartisipasi aktif di dalam guliran proses perubahan tersebut. Terkait itu, maka renungkanlah baik-baik: “berpartisipasi aktif”, tidakkah itu berarti “memimpin” dan “bukan sekedar ikut-ikutan”? Sampai di sini, mungkin muncul pertanyaan: bagaimana mungkin Kristen yang minoritas secara kuantitatif ini memimpin proses perubahan Indonesia menuju masa depan yang gemilang? Mungkin ada benarnya juga (meski tak absolut) pesimisme semacam itu, jika yang dimaksud “memimpin” adalah menjadi pemimpin secara struktural-institusional semisal menjadi presiden atau wakil presiden – seperti yang dulu pernah diimpikan oleh salah satu partai Kristen. Tapi, bukankah Tuhan telah berjanji untuk mengangkat kita menjadi “kepala dan bukan ekor” (Ulangan 28: 13)? Bukankah ayat ini yang dulu selalu dijadikan landasan partai Kristen itu untuk memimpikan posisi “orang nomor satu” di negeri yang mana Kristen menjadi minoritas ini? Lalu, bagaimana kenyataannya sekarang?

Saya tak sekali-kali bermaksud mengekspos “kesalahan” sebuah partai politik di masa lalu.  Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak kita memperbarui paradigma usang, bahwa “Kristen yang memimpin” itu selalu identik dengan posisi atau jabatan. Jelas bukan begitu maknanya. Melainkan, “Kristen yang memengaruhi orang-orang lain”. Begitulah artinya menjadi “kepala” yang memberi arahan, yang menunjukkan jalan, dan yang sejenisnya.

Persoalannya, mampukah orang Kristen menjadi seperti itu? Harus mampu, itulah jawabannya. Ingatlah kisah Yosua, yang dijanjikan Tuhan untuk menjadi pemimpin dan memperoleh kemenangan begitu gemilangnya (Yosua 1: 3-5). Untuk itu, Tuhan memberikan syarat: kuatkan dan teguhkan hati, bertindak hati-hati, jangan menyimpang ke kiri-kanan, merenungkan firman Tuhan siang-malam, jangan kecut dan tawar hati (Yosua 1: 6-9).

Nah, inilah persoalannya. Mungkin, di dalam hal-hal itu, Kekristenan memang perlu memperbarui paradigma-paradigmanya yang sudah banyak usang. Sebutlah, misalnya, ketakutan kita untuk berseru keras menyuarakan kebenaran. Bukankah selama ini kita lebih memilih bersuara perlahan saja? Itu pun jangan melulu hanya kebenaran tentang keselamatan surgawi. Suarakanlah juga kebenaran-kebenaran di bidang ekonomi, hukum, politik, dan lain sebagainya. Sebab, pikirkanlah baik-baik hal ini: Indonesia tak serta-merta berubah menjadi negara dan bangsa yang berkeadilan, yang sejahtera lahir-batin, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, yang minim praktik korupsinya, yang aman dan tenteram, dan yang sejenis itu, hanya dengan menambah banyak orang-orang yang menerima keselamatan surgawi itu.

Bukankah gerakan pekabaran Injil yang meluas dan intensif di Indonesia selama ini sudah membuktikan kurangnya dampak positif dari upaya mewartakan Kabar Sukacita itu terhadap perbaikan dan pemulihan negara dan bangsa yang amburadul ini? Maka, di dalam hal ini pun Kristen perlu memperbarui paradigma. Sadarilah bahwa pekabaran Injil tak sekali-kali boleh dan dapat dijadikan alternatif bagi gerakan-gerakan mereformasi negara dan bangsa ini terus-menerus. Itu berarti, Kristen tak hanya harus bersuara lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan, tapi juga berjuang dengan aksi-aksi konkret di pelbagai arena kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Untuk itu, Kristen harus berada di mana-mana, berbuat apa saja yang kiranya baik dan berdampak positif.

Dalam kaitan itu pula maka paradigma usang kita yang lainnya pun perlu diperbarui. Yang dimaksud dengan itu adalah, berjejaringlah dan bersinergilah seluas-luasnya di dalam arak-arakan perjuangan ini. Baik dengan sesama yang seiman, juga dengan sesama yang tak seiman. Untuk itu, semua sikap phobia terhadap umat lain perlu dibuang jauh-jauh. Jadikanlah mereka kawan, bukan lawan. Sering-seringlah berdialog, tapi bukan dalam hal ajaran, melainkan dalam hal etika. Inilah yang niscaya membuka pintu-pintu untuk terjalinnya relasi yang lebih baik dan yang pada gilirannya menciptakan peluang-peluang untuk bekerja sama demi mewujudkan agenda-agenda mereformasi negara dan bangsa ini.

Kalau mau diurai lebih jauh dalam inci yang rinci, rasanya masih banyak paradigma usang Kristen yang perlu diperbarui terlebih dulu untuk dapat berpartisipasi aktif membangun Indonesia Baru di masa depan. Tapi, pada intinya, hakikat pembaruan yang sejati itu tercakup dalam perumpamaan Yesus tentang “kirbat baru dan anggur baru”. Dengan kirbat (kantong yang terbuat dari kulit), yang dimaksud adalah sistem: yang mencakup struktur, pranata atau institusi, peraturan, mekanisme operasional dan saling hubungan di antara unsur-unsur tersebut. Akan halnya anggur (baru), yang dimaksud adalah orang-orang baru: orang-orang yang tidak mengidap penyakit gila harta, rakus kuasa, kemaruk jabatan, yang suka menghalalkan segala cara dan kekerasan demi mencapai tujuan, dan yang sejenisnya.

Namun, siapa gerangan yang memerlukan kirbat dan anggur baru itu? Alih-alih menunjuk orang lain, lebih bijaklah menunjuk diri sendiri. Sebab, kitalah yang memang harus diperbarui. Karena kita masih takut bersuara lantang. Karena kita lebih gemar mengurusi yang itu-itu saja. Karena kita lebih suka menyerahkan persoa­lan pengurusan negara dan bangsa ini kepada segelintir orang — yang kita elu-elukan sebagai “tokoh” padahal korup. Karena kita abai bahwa reformasi justru harus menjadi fokus Kristen, sesuai prinsip “semper reformanda ecclesia reformata” — gereja yang reformis adalah yang terus-menerus mereformasi dirinya. Dan bukankah gereja itu adalah kita sendiri?

BAGIKAN: