Mengelola Stress

Orang Kristen diperhadapkan dengan berbagai realita kehidupan yang menimbulkan kelelahan fisik, gejolak emosi, dan benturan relasi. Hal-hal itu tidak jarang memicu timbulnya stres dalam diri. Kehadiran stres dalam diri orang Kristen bukan tanda kurang beriman atau berpengharapan kepada Allah. Stres dapat menyerang siapa saja dan kalangan usia berapa pun. Survei Alvara Research Center tahun 2022 menunjukkan generasi Z menjadi generasi yang mudah cemas dan stres. Tingkat kecemasan generasi ini menjadi yang paling tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Meskipun demikian, kelompok usia lainnya juga tidak kebal terhadap stres. Siapapun pasti pernah mengalami stres dalam suatu masa hidupnya.

1. Bergantung pada Allah

Alkitab merujuk kecemasan, ketakutan, dan kekuatiran sebagai tanda-tanda stres. Kita dapat menemukan banyak tokoh-tokoh Alkitab mengalami stres, misalnya: Musa stres menghadapi kebebalan bangsa Israel sehingga dirinya melampiaskannya dalam bentuk kemarahan.Paulus, pribadi yang mengalami banyak tekanan dalam pelayanannya, memberi perintah: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Fil. 4:6) Kehadiran stres menyingkapkan siapa diri kita, bahwa kita adalah manusia lemah dan memiliki kerbatasan. Itu sebabnya kita perlu membiarkan Tuhan semesta alam menanggung beban kita, seperti Pemazmur katakan: “Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah.” (Mzm. 55:22) Menyerahkan situasi yang menekan bahkan diluar kendali kita melalui doa kepada Allah mengalihkan perhatian dari diri sendiri ke tangan pencipta yang kuat dan cakap. Elizabeth Moyer menyimpulkan “ketidakpastian dalam hidup adalah kesempatan untuk bergantung pada Tuhan seperti yang Ia inginkan.” Terkadang kita memilih mengatasi masalah dengan cara-cara yang kita pahami, padahal hal itu justru menimbulkan kegelisahan atau kekuatiran. Joseph Scriven menuangkannya dalam lirik puisi yang mendalam “Oh, what peace we often forfeit, Oh, what needless pain we bear, all because we do not carry everything to God in prayer.”

2. Identifikasi sumber stres

Mengelola stres diawali dengan mengidentifikasi sumber stres dalam hidup kita. Untuk mengidentifikasi apa yang benar-benar membuat kita stres, perhatikan apa yang menjadi kebiasaan, perilaku, dan alasan pembenaran kita. Misal: kita mengalami tekanan karena tenggat waktu pekerjaan mendekat. Perhatikan, apakah hal itu terjadi karena tuntutan pekerjaan yang banyak atau kebiasaan menunda.

3. Latih 4A pengelolaan stres

Avoid unnecessary stress: dengan cara belajar berkata “tidak” – kenali limit diri, batasi relasi orang-orang yang memicu stres, kendalikan apa yang dilihat/dengar, tentukan to do list yang sesuai kemampuan diri.

Alter the situation: jika kita tidak dapat menghindari keadaan yang menimbulkan stres, coba untuk mengubahnya. Hal ini melibatkan perubahan cara kita berkomunikasi dan beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dilakukan dengan cara mengekspresikan perasaan secara terbuka dan sopan, belajar berkompromi, lebih asertif, dan mengupayakan keseimbangan hidup.

Adapt to the stressor: dengan cara mengubah ekspektasi dan perilaku — membingkai ulang masalah, melihat gambar besar masalah yang dihadapi, sesuaikan standar diri yang wajar bukan sempurna, belajar mengucap syukur.

Accept the things you can’t change: beberapa sumber stres tidak dapat dihindari. Kita tidak dapat mencegah atau mengubahnya, seperti kematian orang yang dikasihi, sakit parah. Cara terbaik menghadapinya adalah dengan menerima situasi itu sebagaimana adanya.

4. Terus bergerak

Ketika kita mengalami stres kecenderungannya adalah berhenti melakukan aktifitas fisik. Salah satu cara mengelola stres yang sehat adalah tetap melakukan aktifitas fisik, seperti olahraga, jalan kaki dengan binatang kesayangan, dengarkan musik dan ikuti iramanya, dan lain-lain.

5. Terhubung dengan orang lain

Kehadiran sesama (support system) dapat meredakan tekanan dalam diri. Kita dapat menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang yang membuat kita merasa aman dan dimengerti. Faktanya, interaksi tatap muka memicu aliran hormon yang menangkal respons defensif tubuh “melawan atau lari”. Ini adalah pereda stres alami (yang juga membantu mencegah depresi dan kecemasan). Jadi pastikan kita terus terhubung dengan keluarga dan komunitas yang sehat.


“Come to me, all who labor and are heavy laden, and I will give you rest. Take my yoke upon you, and learn from me, for I am gentle and lowly in heart, and you will find rest for your souls. For my yoke is easy, and my burden is light.”Matthew 11:28-30

BAGIKAN: